Jumat, 15 Mei 2015


Keterkaitan antara demokrasi dengan kemakmuran

Salah satu alasan terpenting yang sering dikemukakan atas kemiskinan di Dunia Islam pada saat ini adalah karena tidak diterapkannya demokrasi. Teori saling ketergantungan antara demokrasi, pembangunan dan HAM dikemukakan pertama kali pada Deklarasi Wina tahun 1933 oleh UNESCO. Mancur Olsen (Universitas Maryland), seorang ahli ekonomi kapitalis yang terkenal, dalam bukunya yang berjudul, Kekuasaan dan Kemakmuran (Power and Prosperity) (2000), menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi pada umumnya menunjukkan pembangunan dan kemajuan jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lain.
Campos (1994) juga telah menunjukkan suatu hubungan positif antara demokrasi dan pembangunan. Michael T. Rock (2009), dengan memakai data di Asia, menolak bahwa demokrasi memperlambat pertumbuhan dan menunjukkan bahwa demokrasi menyebabkan pertumbuhan dan investasi[1].
Apakah benar ada hubungan atau kaitan antara demokrasi dengan kemakmuran?
Ada dua jawaban penjelasan extrim yang bertolak belakang satu sama lain yang sering diajukan. Pertama, demokrasi adalah sine qua non, syarat mutlak, untuk kemakmuran. Jawaban ini sering sekali dikumandangkan oleh negara-negara Barat umumnya, Amerika Serikat khususnya. Mereka selalu mendorong demokratisasi di negara-negara lain, mengatakan itu semua demi kemakmuran, demi kepentingan negara itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah musuh kemakmuran. Jawaban ini sering sekali dikumandangkan oleh pemerintah Cina dan negara² otoriter lain. Mereka selalu menekankan pentingnya stabilitas, disiplin, dan keamanan. Mereka juga menekankan bahaya anarki, ketidak pastian, dan kekacauan yang menurut mereka akan tercipta oleh demokrasi.

Mari kita analisa kedua jawaban tersebut.
Demokrasi adalah sine qua non kemakmuran
Kita lihat sejarah negara Barat sendiri. Negara-negara Barat mendorong negara otoriter untuk menerapkan demokrasi, yang mereka persempit menjadi pemilu yang terbuka, adil dan mencakup semua masyarakat. Pertanyaan: apakah negara-negara Barat sendiri menerapkan hal itu?
Yang dibahas dalam hal ini adalah bukan soal masa kini, tetapi soal masa lalu. Di masa lalu, negara-negara Barat juga merupakan negara-negara otoriter yang menerapkan monarki absolut, apakah mereka mengganti monarki absolut tersebut dengan demokrasi dalam semalam? Apakah mereka langsung melaksanakan pemilu dimana semua warga mereka yang berumur (Katakanlah) di atas 17 tahun memiliki hak memilih? Tidak. Mereka memastikan bahwa para pemilih mereka cuma kalangan terbatas, kalangan kaya, kalangan aristokrat, kelas atas. Mereka tak mau menyerahkan hak memilih pada warga miskin mereka. Mereka menciptakan sistem pengaman sosial untuk memastikan warga miskin mereka tak menderita, dan menyediakan peluang supaya orang-orang miskin bisa menjadi kaya. Mereka juga membuat sistem pajak progresif yang mempersempit jurang kaya dan miskin. Mereka memastikan bahwa ketika pemilu terjadi, suara warga miskin adalah minor.
Namun, sekarang negara-negara Barat memilih untuk memaksa negara-negara lain mengganti sistem politik mereka dengan radikal. Negara-negara otoriter tersebut kebanyakan memiliki satu suku/ras yang kaya karena koneksi dan kerja sama dengan penguasa, tapi tak memiliki kekuasaan politik. Di buku “World on Fire,“ Dr. Amy Chua melukiskan dengan jelas akibat dari penerapan demokrasi di negara macam ini: kemunculan politikus populis yang menyebabkan konflik antar ras. Para politikus populis akan mengobarkan kebencian rasial untuk memobilisasi massa, dan kebencian ini pada akibatnya akan menciptakan ketidakstabilan, ketidak amanan, anarki, dst, pada akhirnya menghancurkan negara yang bersangkutan.
Contoh paling nyata: Rwanda. Demokrasi membuat politikus dari suku mayoritas, Hutu, menggunakan issue “Ketidak adilan“ sebagai tema utama kampanyenya. Mereka mengobarkan kebencian antar suku, presiden Kayibanda pun terpilih. Untuk mempertahankan kekuatannya, Kayibanda terus mengobarkan kebencian terhadap suku Tutsi, membantai banyak intelektual Tutsi.
Tahun 1973, mayor jendral Habyarimana, mengkudeta Kayibanda, lalu memimpin sebagai diktator. Tahun 1990, demokratisasi dimulai, dan politik kebencianpun kembali menggelora. Keadaan makin runyam saat kebencian antar etnis ini meledak dengan dimulainya invasi oleh Rwandese Patriotic Front (RPF) yang didominasi sukut Tutsi. Perang saudara tersebut berujung pada genosida, pembantaian ratusan ribu orang Tutsi oleh orang Hutu[2].

Demokrasi membawa Kemakmuran
Demokrasi akan membawa kemakmuran, dengan alasan sebagai berikut:
a.       Demokrasi akan menghasilkan kepastian hukum yang merupakan salah satu syarat utama bagi tumbuhnya kehidupan social, ekonomi, budaya, politik secara optimum. Dalam sebuah pemerintahan yang demokratis, rakyat akan secara kritis menuntut penegakan hukum.
b.      Sejalan dengan terciptanya kepastian hukum, demokrasi juga akan melahirkan tata kelola pemerintahan yang baik. Birokrasi pemerintahan yang efektif dan efisien merupakan salah satu daya tarik bagi investasi. Hal ini juga sedang terjadi di Indonesia dengan agenda reformasi birokrasi. Diharapkan melalui kebijakan ini dapat tercipta suatu pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.
c.       Dalam suatu pemerintahan yang demokratis, pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan. Hal ini terbukti dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia yang mulai berjalan intensif guna mengejar ketertinggalannya dari negara-negara tetangga. Terkait dengan ini, Pemerintahan di daerah saat ini sangat giat membangun pelabuhan, bandara udara maupun infrastruktur lainnya guna memperoleh akses, mobilitas, dan keadilan pembangunan.
d.      Pemerintahan yang demokratis cenderung akan dituntut oleh masyarakatnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini mutlak karena pendidikan sebagai media untuk meneruskan nilai-nilai demokrasi ke penerus bangsa, dan senantiasa meningkatkan kemampuan SDM untuk mengembangkan bangsa dan negara.
e.       Dengan demokrasi ada kebebasan yang bertanggung jawab, sehingga keadaan masyaraka menjadi kondusif, penuh toleransi, menghormati perbedaan pendapat, memahami dan meyadari keanekaragaman masyarakat, terbuka, menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat manusia, mampu mengekang diri dan tidak menggangu orang lain, kebersamaan, dan keseimbangan kemanusiaan, dan percaya diri. Hal ini akan menstabilkan kehidupan social masyarakat dengan budaya atau kultur demokratis. Keadaaan akan tentram dan damai.
f.       Dengan demokrasi, tidak akan ada penindasan suatu negara terhadap negara lain, karena antar negara saling menghormati dan saling menghargai. Sehingga setiap negara dapat leluasa mengembangkan diri dengan baik, dapat pula dengan bantuan negara lain, maka terwujudlah kemakmuran suatu bangsa.[3]

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa demokrasi akan membawa kemakmuran, namun tidak lupa dibahas pula bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang melalui transisi yang harus senantiasa dikawal perkembangannya agar tidak melenceng dari tujuan semula untuk memakmurkan bangsa. Demokrasi melalui proses transisi dari otoriter ke demokratis. Pada masa transisi ini perkembangan demokrasi tidak selalu positif, namun dapat pula menjadi negative dan menjauhi cita-cita yang menjadi tujuan.  Masa transisi yang berkembang tidak sempurna menjadi ke arah negative inilaih yang akan menggagalkan tujuan demokrasi untuk mencapai kemakmuran. Maka diharapkan control masyarakat, rekayasa melalui pendidikan agar nilai-nilai dan cita-cita demokrasi dapat berkembang di kalangan masyarakat luas.
Tak lupa pula dibutuhkan kultur demokrasi yang sesuai dengan karakter dan budaya suatu bangsa tertentu. Budaya demokrasi di suatu bangsa yang berhasil membawa kemakmuran belum tentu berhasil jika diterapkan di bangsa lain. Karena masing-masing bangsa mempunyai kebutuhan, karakteristik yang berbeda-beda, maka dari itu perlu penelaahan lebih lanjut tentang budaya demokrasi apa yang cocok diterapkan pada suatu bangsa tertentu.

Demokrasi adalah musuh kemakmuran
Setelah tahu bahwa demokrasi tanpa memikirkan aspek lain bisa, dan sudah, menyebabkan konflik antar etnis, apakah kita bisa menganggap demokrasi adalah musuh kemakmuran? Apakah kediktatoran adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran? Cermati pernyataan berikut: “Kalau kediktatoran adalah kunci kemakmuran, Afrika seharusnya menjadi benua terkaya di dunia.“
Semua penguasa di negeri demokrasi yang sukses WAJIB memberikan hasil yang memuaskan kepada rakyatnya. Di negeri otoriter, hal ini murni bergantung pada “Kebajikan“ dan „Moralitas“ sang diktator. Seperti kita ketahui, moralitas bukanlah jaminan yang baik untuk memastikan sang diktator memimpin dengan baik. Intinya: demokrasi berfungsi sebagai “Checks and Balances“ terhadap pemerintah.
Mari kita tanyakan pertanyaan lain: ketika seorang diktator memerintah dengan buruk, apa yang harus kita lakukan untuk menyingkirkannya? Dua jawaban: kudeta atau perang saudara. Kudeta kedengarannya tidak terlalu buruk, tapi kudeta bukannya tanpa masalah. Sebuah pemerintah yang berkuasa akibat kudet memiliki masalah legitimasi, sehingga peluang munculnya kudeta susulan adalah sangat besar. Sebuah negara yang terus menerus dilanda kudeta tidak memiliki kestabilan, negara tersebut malah cenderung memiliki kekacauan dan ketidak pastian, sebuah sifat demokrasi yang menurut para diktator adalah kelemahan terbesar demokrasi.
Itu adalah alasan struktural, mari kita melihat alasan filosofis kenapa kediktatoran tidak bisa diterima. Para diktator akan mengirim semua yang mengritik kebijakannya ke penjara, atau membunuhnya. Itu berarti, para diktator itu sudah menempatkan dirinya sebagai “Tuhan“ yang tak bisa salah. Otomatis ini bertentangan dengan dasar-dasar agama manapun, kecuali agama yang mengangkat sang pemimpin sebagai Tuhan.[4]
Terdapat tulisan ilmiah yang mengkritik validitas dari kesimpulan seperti itu. Contohnya, Christian Bjørnskov (2010), yang mengungkapkan data mengenai perbedaan pendapatan yang diperoleh dari Database Ketidakmerataan Pendapatan Dunia pada 88 negara berkembang. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa teori ini sengaja dijajakan dan diterapkan oleh para elit politik dan akademisi dari negara-negara itu. Sebagai tambahan, penemuan Sirowy dan Inkeles (1991) mendukung suatu hubungan negatif antara demokrasi dan pembangunan.
Sebagai contoh, Pakistan. Di bawah kepemimpinan diktator Jendral Pervez Musharaf, Pakistan berada di ambang kebangkrutan. Lalu di bawah pemerintahan demokratis Asif Ali Zardari Pakistan secara teknis menjadi sebuah negara yang telah bangkrut. Negara itu telah gagal selama 60 tahun terakhir di bawah sistem demokrasi-sekular. Contoh lain, Bangladesh. Selama 20 tahun terakhir, Bangladesh mempraktikkan demokrasi. Sebenarnya, Bangladesh mulai dengan tingkat kemiskinan 48% pada tahun 1990, namun sekarang sekitar 51% hidup di bawah kemiskinan! Padahal negara itu dianggap sebagai salah satu model demokrasi terbaik di Dunia Islam. Kebalikannya, Kuwait, Saudi Arabia, Emirat Arab, Qatar, Brunei dll diperintah oleh kerajaan. Negara mana yang lebih berkembang secara ekonomi? Tentu saja bukan Bangladesh![5].

Solusi dan simpulan
Keunggulan utama demokrasi dibandingkan kediktatoran adalah: Sekacau-kacau nya mekanisme yang ditawarkan demokrasi, masih jauh lebih tidak berdarah dibandingkan mekanisme yang ada pada sistem otoriter.
Sisi gelap demokrasi adalah ketika pemimpin populis menghasut kebencian antar etnis, atau antar agama, lalu memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Jadi, apa solusinya?
Mengutip Dr Amy Chua, “Demokrasi harus berarti lebih dari sekedar kekuasaan mayoritas.“ Demokrasi juga harus meliputi perlindungan terhadap minoritas, perlindungan terhadap perbedaan, supremasi hukum, dll. Demokrasi adalah jalan terbaik menuju kemakmuran, tapi bukan obat ajaib yang menjamin kemakmuran.
















Daftar Pustaka

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13 Jan 2011
http://kananundkiri.blogspot.com/2012/05/demokrasi-dan-kemakmuran.html
http://ayouk91.blogspot.com/2011/06/benarkah-demokrasi-membawa-kemakmuran.html




[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13 Jan 2011
[2] http://kananundkiri.blogspot.com/2012/05/demokrasi-dan-kemakmuran.html
[3] http://ayouk91.blogspot.com/2011/06/benarkah-demokrasi-membawa-kemakmuran.html
[4]http://kananundkiri.blogspot.com/2012/05/demokrasi-dan-kemakmuran.html
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13 Jan 2011

0 komentar :

Posting Komentar