Keterkaitan
antara demokrasi dengan kemakmuran
Apakah
benar ada hubungan atau kaitan antara demokrasi dengan kemakmuran?
Ada
dua jawaban penjelasan extrim yang bertolak belakang satu sama lain yang sering
diajukan. Pertama, demokrasi adalah sine
qua non, syarat mutlak, untuk kemakmuran. Jawaban ini sering sekali
dikumandangkan oleh negara-negara Barat umumnya, Amerika Serikat khususnya.
Mereka selalu mendorong demokratisasi di negara-negara lain, mengatakan itu
semua demi kemakmuran, demi kepentingan negara itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah musuh
kemakmuran. Jawaban ini sering sekali dikumandangkan oleh pemerintah Cina dan
negara² otoriter lain. Mereka selalu menekankan pentingnya stabilitas,
disiplin, dan keamanan. Mereka juga menekankan bahaya anarki, ketidak pastian,
dan kekacauan yang menurut mereka akan tercipta oleh demokrasi.
Demokrasi adalah sine
qua non kemakmuran
Kita lihat sejarah negara Barat sendiri.
Negara-negara Barat mendorong negara otoriter untuk menerapkan demokrasi, yang
mereka persempit menjadi pemilu yang terbuka, adil dan mencakup semua
masyarakat. Pertanyaan: apakah negara-negara Barat sendiri menerapkan hal itu?
Yang dibahas dalam hal ini adalah
bukan soal masa kini, tetapi soal masa lalu. Di masa lalu, negara-negara Barat
juga merupakan negara-negara otoriter yang menerapkan monarki absolut, apakah
mereka mengganti monarki absolut tersebut dengan demokrasi dalam semalam?
Apakah mereka langsung melaksanakan pemilu dimana semua warga mereka yang
berumur (Katakanlah) di atas 17 tahun memiliki hak memilih? Tidak. Mereka memastikan
bahwa para pemilih mereka cuma kalangan terbatas, kalangan kaya, kalangan
aristokrat, kelas atas. Mereka tak mau menyerahkan hak memilih pada warga
miskin mereka. Mereka menciptakan sistem pengaman sosial untuk memastikan warga
miskin mereka tak menderita, dan menyediakan peluang supaya orang-orang miskin
bisa menjadi kaya. Mereka juga membuat sistem pajak progresif yang mempersempit
jurang kaya dan miskin. Mereka memastikan bahwa ketika pemilu terjadi, suara
warga miskin adalah minor.
Namun, sekarang
negara-negara Barat memilih untuk memaksa negara-negara lain mengganti sistem
politik mereka dengan radikal. Negara-negara otoriter tersebut kebanyakan
memiliki satu suku/ras yang kaya karena koneksi dan kerja sama dengan penguasa,
tapi tak memiliki kekuasaan politik. Di buku “World on Fire,“ Dr. Amy Chua
melukiskan dengan jelas akibat dari penerapan demokrasi di negara macam ini:
kemunculan politikus populis yang menyebabkan konflik antar ras. Para politikus
populis akan mengobarkan kebencian rasial untuk memobilisasi massa, dan
kebencian ini pada akibatnya akan menciptakan ketidakstabilan, ketidak amanan,
anarki, dst, pada akhirnya menghancurkan negara yang bersangkutan.
Contoh paling nyata: Rwanda. Demokrasi membuat politikus dari suku mayoritas, Hutu,
menggunakan issue “Ketidak adilan“ sebagai tema utama kampanyenya. Mereka
mengobarkan kebencian antar suku, presiden Kayibanda pun terpilih. Untuk
mempertahankan kekuatannya, Kayibanda terus mengobarkan kebencian terhadap suku
Tutsi, membantai banyak intelektual Tutsi.
Tahun 1973, mayor jendral
Habyarimana, mengkudeta Kayibanda, lalu memimpin sebagai diktator. Tahun 1990,
demokratisasi dimulai, dan politik kebencianpun kembali menggelora. Keadaan
makin runyam saat kebencian antar etnis ini meledak dengan dimulainya invasi
oleh Rwandese Patriotic Front (RPF) yang didominasi sukut Tutsi. Perang saudara
tersebut berujung pada genosida, pembantaian ratusan ribu orang Tutsi oleh
orang Hutu[2].
Demokrasi membawa Kemakmuran
Demokrasi
akan membawa kemakmuran, dengan alasan sebagai berikut:
a. Demokrasi
akan menghasilkan kepastian hukum yang merupakan salah satu syarat utama bagi
tumbuhnya kehidupan social, ekonomi, budaya, politik secara optimum. Dalam
sebuah pemerintahan yang demokratis, rakyat akan secara kritis menuntut
penegakan hukum.
b. Sejalan
dengan terciptanya kepastian hukum, demokrasi juga akan melahirkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Birokrasi pemerintahan yang efektif dan efisien
merupakan salah satu daya tarik bagi investasi. Hal ini juga sedang terjadi di
Indonesia dengan agenda reformasi birokrasi. Diharapkan melalui kebijakan ini
dapat tercipta suatu pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.
c. Dalam
suatu pemerintahan yang demokratis, pembangunan infrastruktur merupakan salah
satu prioritas pembangunan. Hal ini terbukti dengan pembangunan infrastruktur
di Indonesia yang mulai berjalan intensif guna mengejar ketertinggalannya dari
negara-negara tetangga. Terkait dengan ini, Pemerintahan di daerah saat ini
sangat giat membangun pelabuhan, bandara udara maupun infrastruktur lainnya
guna memperoleh akses, mobilitas, dan keadilan pembangunan.
d. Pemerintahan
yang demokratis cenderung akan dituntut oleh masyarakatnya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Hal ini mutlak karena pendidikan sebagai media untuk
meneruskan nilai-nilai demokrasi ke penerus bangsa, dan senantiasa meningkatkan
kemampuan SDM untuk mengembangkan bangsa dan negara.
e. Dengan
demokrasi ada kebebasan yang bertanggung jawab, sehingga keadaan masyaraka
menjadi kondusif, penuh toleransi, menghormati perbedaan pendapat, memahami dan
meyadari keanekaragaman masyarakat, terbuka, menjunjung tinggi nilai-nilai dan
martabat manusia, mampu mengekang diri dan tidak menggangu orang lain,
kebersamaan, dan keseimbangan kemanusiaan, dan percaya diri. Hal ini akan
menstabilkan kehidupan social masyarakat dengan budaya atau kultur demokratis.
Keadaaan akan tentram dan damai.
f. Dengan
demokrasi, tidak akan ada penindasan suatu negara terhadap negara lain, karena
antar negara saling menghormati dan saling menghargai. Sehingga setiap negara
dapat leluasa mengembangkan diri dengan baik, dapat pula dengan bantuan negara
lain, maka terwujudlah kemakmuran suatu bangsa.[3]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa demokrasi akan
membawa kemakmuran, namun tidak lupa dibahas pula bahwa demokrasi adalah sebuah
proses yang melalui transisi yang harus senantiasa dikawal perkembangannya agar
tidak melenceng dari tujuan semula untuk memakmurkan bangsa. Demokrasi melalui
proses transisi dari otoriter ke demokratis. Pada masa transisi ini
perkembangan demokrasi tidak selalu positif, namun dapat pula menjadi negative
dan menjauhi cita-cita yang menjadi tujuan. Masa transisi yang berkembang
tidak sempurna menjadi ke arah negative inilaih yang akan menggagalkan tujuan
demokrasi untuk mencapai kemakmuran. Maka diharapkan control masyarakat,
rekayasa melalui pendidikan agar nilai-nilai dan cita-cita demokrasi dapat
berkembang di kalangan masyarakat luas.
Tak
lupa pula dibutuhkan kultur demokrasi yang sesuai dengan karakter dan budaya
suatu bangsa tertentu. Budaya demokrasi di suatu bangsa yang berhasil membawa
kemakmuran belum tentu berhasil jika diterapkan di bangsa lain. Karena
masing-masing bangsa mempunyai kebutuhan, karakteristik yang berbeda-beda, maka
dari itu perlu penelaahan lebih lanjut tentang budaya demokrasi apa yang cocok
diterapkan pada suatu bangsa tertentu.
Demokrasi adalah musuh
kemakmuran
Setelah tahu bahwa demokrasi tanpa memikirkan
aspek lain bisa, dan sudah, menyebabkan konflik antar etnis, apakah kita bisa
menganggap demokrasi adalah musuh kemakmuran? Apakah kediktatoran adalah
satu-satunya jalan menuju kemakmuran? Cermati pernyataan berikut: “Kalau
kediktatoran adalah kunci kemakmuran, Afrika seharusnya menjadi benua terkaya
di dunia.“
Semua penguasa di negeri
demokrasi yang sukses WAJIB memberikan hasil yang memuaskan kepada rakyatnya.
Di negeri otoriter, hal ini murni bergantung pada “Kebajikan“ dan „Moralitas“
sang diktator. Seperti kita ketahui, moralitas bukanlah jaminan yang baik untuk
memastikan sang diktator memimpin dengan baik. Intinya: demokrasi berfungsi
sebagai “Checks and Balances“ terhadap pemerintah.
Mari kita tanyakan pertanyaan lain: ketika
seorang diktator memerintah dengan buruk, apa yang harus kita lakukan untuk
menyingkirkannya? Dua jawaban: kudeta atau perang saudara. Kudeta kedengarannya
tidak terlalu buruk, tapi kudeta bukannya tanpa masalah. Sebuah pemerintah yang
berkuasa akibat kudet memiliki masalah legitimasi, sehingga peluang munculnya
kudeta susulan adalah sangat besar. Sebuah negara yang terus menerus dilanda
kudeta tidak memiliki kestabilan, negara tersebut malah cenderung memiliki
kekacauan dan ketidak pastian, sebuah sifat demokrasi yang menurut para
diktator adalah kelemahan terbesar demokrasi.
Itu adalah alasan struktural, mari kita
melihat alasan filosofis kenapa kediktatoran tidak bisa diterima. Para diktator
akan mengirim semua yang mengritik kebijakannya ke penjara, atau membunuhnya.
Itu berarti, para diktator itu sudah menempatkan dirinya sebagai “Tuhan“ yang
tak bisa salah. Otomatis ini bertentangan dengan dasar-dasar agama manapun,
kecuali agama yang mengangkat sang pemimpin sebagai Tuhan.[4]
Terdapat tulisan ilmiah yang
mengkritik validitas dari kesimpulan seperti itu. Contohnya, Christian
Bjørnskov (2010), yang mengungkapkan data mengenai perbedaan pendapatan yang
diperoleh dari Database Ketidakmerataan Pendapatan Dunia pada 88 negara
berkembang. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa teori ini sengaja dijajakan dan
diterapkan oleh para elit politik dan akademisi dari negara-negara itu. Sebagai
tambahan, penemuan Sirowy dan Inkeles (1991) mendukung suatu hubungan negatif
antara demokrasi dan pembangunan.
Sebagai contoh, Pakistan. Di bawah
kepemimpinan diktator Jendral Pervez Musharaf, Pakistan berada di ambang
kebangkrutan. Lalu di bawah pemerintahan demokratis Asif Ali Zardari Pakistan
secara teknis menjadi sebuah negara yang telah bangkrut. Negara itu telah gagal
selama 60 tahun terakhir di bawah sistem demokrasi-sekular. Contoh lain,
Bangladesh. Selama 20 tahun terakhir, Bangladesh mempraktikkan demokrasi.
Sebenarnya, Bangladesh mulai dengan tingkat kemiskinan 48% pada tahun 1990,
namun sekarang sekitar 51% hidup di bawah kemiskinan! Padahal negara itu
dianggap sebagai salah satu model demokrasi terbaik di Dunia Islam.
Kebalikannya, Kuwait, Saudi Arabia, Emirat Arab, Qatar, Brunei dll diperintah
oleh kerajaan. Negara mana yang lebih berkembang secara ekonomi? Tentu saja
bukan Bangladesh![5].
Solusi dan simpulan
Keunggulan utama demokrasi dibandingkan
kediktatoran adalah: Sekacau-kacau nya mekanisme yang ditawarkan demokrasi,
masih jauh lebih tidak berdarah dibandingkan mekanisme yang ada pada sistem
otoriter.
Sisi gelap demokrasi adalah ketika pemimpin
populis menghasut kebencian antar etnis, atau antar agama, lalu memanfaatkannya
untuk kepentingan pribadinya. Jadi, apa solusinya?
Mengutip Dr Amy Chua, “Demokrasi harus
berarti lebih dari sekedar kekuasaan mayoritas.“ Demokrasi juga harus meliputi
perlindungan terhadap minoritas, perlindungan terhadap perbedaan, supremasi
hukum, dll. Demokrasi adalah jalan terbaik menuju kemakmuran, tapi bukan obat
ajaib yang menjamin kemakmuran.
Daftar
Pustaka
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13
Jan 2011
http://kananundkiri.blogspot.com/2012/05/demokrasi-dan-kemakmuran.html
http://ayouk91.blogspot.com/2011/06/benarkah-demokrasi-membawa-kemakmuran.html
[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13
Jan 2011
[3] http://ayouk91.blogspot.com/2011/06/benarkah-demokrasi-membawa-kemakmuran.html
[4]http://kananundkiri.blogspot.com/2012/05/demokrasi-dan-kemakmuran.html
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/13/kekuatan-dahsyat-ekonomi-negara-khilafah/13
Jan 2011
0 komentar :
Posting Komentar